Sejatinya Wadah Karya adalah Personal Web

Kita sudah terbiasa dengan media sosial sekarang, tetapi kita kadang lupa kalau personal web mungkin bisa lebih mengerti kebutuhan kita dalam publikasi dan berkarya

Sejatinya Wadah Karya adalah Personal Web

Beberapa waktu kemarin aku menemukan beberapa video menarik mengenai personal web. Mungkin sebagian kita sudah tahu setidaknya sedikit tentang personal web. Sebuah situs web pribadi yang isinya biasanya, ya, macam-macam. Tetapi situs itu bukan situs yang dimiliki oleh lembaga atau entitas yang besar, hanya perseorangan dalam skala kecil. Biasanya juga hanya menampilkan profil dan identitas seseorang, portofolionya, atau bisa dalam bentuk tulisan-tulisan blog, yang dikemas lebih bebas dan terbuka. Konsep personal web ini bisa ditekankan lagi menjadi indie web yang menjadi lawan dari situs web yang diprakarsai korporat dan lembaga yang besar. Dan topik ini biasanya ditautkan dengan media sosial atau platform sosial sejenisnya.

Masalah yang kita hadapi saat ini adalah semua orang mempublikasikan apa yang mereka lakukan atau sekadar unjuk diri di internet itu bergantung dengan media sosial atau platform publikasi lain mayoritas dikendalikan oleh pihak ketiga. Enaknya banyak, gak enaknya juga gak sedikit. Yang digarisbawahi biasanya soal kebebasan, sensor, dan kemungkinan konten yang dipublikasikan sirna tanpa adanya kontrol dari kita sendiri. Entah efek dari sensor itu, atau tempatnya tahu-tahu ditutup dengan alasan apapun. Ribet, 'kan?

Sekarang kita coba fokus ke tujuan personal web yang bisa menjadi tempat kita bernaung di samping media sosial. Mungkin kita gak perlu bahas terlalu dalam soal indie web secara keseluruhan karena bakal banyak yang perlu dibahas mengenai itu. Yang perlu dicatat adalah semua orang mungkin butuh personal web atau situs web pribadi. Tetapi di kehidupan berinternet sekarang ini, orang kalau gak memanfaatkan media sosial pasti ada kemungkinan untuk gak bisa "kemana-mana", terlebih masih tergantung dengan algoritma. Kita gak akan lepas dari media sosial dulu.

Kita ambil contoh kasus satu dulu. Kita gak perlu jauh-jauh ke content creator yang sekarang ini lebih familiar ke orang yang bikin video atau podcast. Kita fokus ke seorang penulis yang sejatinya juga seorang content creator. Dia membuat tulisan-tulisan yang dipublikasikan ke orang-orang untuk dibaca. Mungkin yang independen menggunakan media sosial sebagai media dia memuat tulisannya. Selain agar mudah dijangkau orang banyak, dari sisi dia juga enak karena tinggal posting langsung di sana tanpa harus menyiapkan tempatnya dulu, tinggal bikin akun saja.

Dari hal ini jelas kelihatan enak banget. Gak enaknya apa terusan? Gimana kalau akunnya dihapus? Atau malah kena shadow ban atau sejenisnya? Atau karena limitasi fitur dari media sosialnya itu sendiri yang membuat tulisan dia tidak tampak menarik? Tulisan lama juga susah untuk dicari kembali arsipnya karena tertumpuk jadi satu dengan pos lainnya di profil. Atau malah pembaca kadang susah menikmati bacaan karena kembali lagi ke tadi, limitasi dari media sosial yang digunakan. Bermacam-macam, sih, ya. Mungkin ini kesannya subyektif, tapi ingat bahwa hampir semua di atas bisa teratasi apabila si penulis meluangkan waktu dan tenaga untuk menyiapkan tempat lain untuk mempublikasikan tulisannya. Bisa dengan menggunakan platform blogging atau publikasi yang memang untuk memuat tulisan dan sejenisnya.

Ini bukan berarti aku mencap media sosial itu benar-benar buruk, tidak. Media sosial itu masih perlu kita gunakan untuk menjangkau pembaca dan mempromosikan apa yang kita buat. Tetapi pasrah dengan tidak membuat tempat terpisah untuk memuat karya sendiri kadang bisa bikin pusing sendiri. Jadi gunakan media sosial sebagai tempat pengumuman dan promosi, dan gunakan tempat terpisah untuk memuat tulisan kita yang mudah dibaca tetapi juga mudah untuk kita kelola.

Aku menulis ini karena aku sendiri selama beberapa waktu terakhir dalam mengonsumsi konten juga memikirkan hal yang serupa. Aku menggunakan baik Facebook, Twitter, Instagram dan fediverse sebagai media sosial yang sering aku gunakan. Dan akhir-akhir ini, terkhususnya di Instagram, aku menemukan banyak informasi dan referensi mengenai topik yang aku ikuti dan sukai. Aku memang memanfaatkan fitur Simpan di sana. Tetapi yang membuatku sebal adalah betapa berantakan dan susahnya untuk membuat konten yang aku simpan itu lebih mudah aku "simpan". Mengingat Instagram adalah platform yang semi-tertutup, harusnya sudah paham apa yang aku permasalahkan bila aku bandingkan dengan sebuah situs blog yang terbuka.

Mungkin ke depannya aku akan bahas mengenai personal web dari sisi lainnya, terutama betapa kerennya personal web itu sendiri karena kustomisasinya yang jelas lebih bebas daripada sekadar sebuah profil media sosial yang dikekang oleh standar dari yang punya tempat. Sebenarnya topik mengenai wadah karya sejati menggunakan personal web sendiri masih belum bisa aku lengkapi, karena aku sendiri hanya menuturkan apa yang sedang aku pikirkan saat aku tulis artikel ini. Akan aku coba lengkapi di lain waktu.

Foto oleh freepik