Mencoba Menggunakan Kembali Hape Lamaku Ternyata Tidak Semudah yang Aku Bayangkan

Niat hati ingin memanfaatkan yang selagi ada, ternyata yang diinginkan saja sudah tidak lagi sanggup menahan bebannya

Mencoba Menggunakan Kembali Hape Lamaku Ternyata Tidak Semudah yang Aku Bayangkan

Mungkin ini topik yang hampir berhubungan dengan tulisan beberapa pekan yang lalu dimana aku membahas bagaimana laptop lama bisa dimanfaatkan kembali dengan berfokus pada penggunaannya untuk aktivitas daring hanya di browser saja. Hal ini merupakan salah satu penerapan proses reuse untuk melawan menumpuknya e-waste dari barang elektronik yang sudah tidak kita gunakan. Tetapi apakah hal ini bisa diterapkan untuk ponsel? Mungkin iya, mungkin juga tidak. Dan mungkin saja malah solusi ini juga bukan hal yang cocok untuk setiap orang. Kenapa? Mari dibahas.

Pola Mengganti Hape

Aku mencoba bertanya ke teman-temanku mengenai bagaimana mereka mengganti hape mereka. Dan hampir semuanya ganti karena hape sebelumnya sudah rusak, benar-benar rusak. Kalau berdasarkan data yang aku baca, rata-rata kapan orang mengganti hapenya biasanya 2,5-3,5 tahun, atau bahkan bisa sampai 4 tahun lebih. Mayoritas dari mereka biasanya memang menggunakannya hingga benar-benar rusak karena cukup memikirkan budget untuk membeli yang baru. Dan kondisinya saat rusak biasanya di baterai yang sudah tidak awet seharian atau performanya sudah bikin kesal tiap kali menggunakannya. Memang masih hidup, tapi kalau dipakai kayaknya udah terasa malas saja sih. Tapi kalau mati total, apalagi dimaling, jelas perlu ganti baru.

Selama aku menggunakan ponsel, aku sudah menggunakan tiga ponsel berbasis Android dan empat feature phone sejak aku masuk bangku SMP. Hampir semuanya dipakai hingga benar-benar rusak dan harus ganti ke yang baru. Biasanya juga di masalah baterai dan performa yang bikin aku ingin segera ganti. Aku memiliki Polytron S2350 sebagai hape Android pertamaku di tahun 2013 yang lumayan awet hingga awal 2017. Karena masalah baterai dan OS-nya cukup jadul (masih pakai Android 2.3.6 kala itu), aku ganti ke Evercoss U6 dan aku pakai hingga 2019 karena baterai sudah soak dua kali dan penyimpanan tidak cukup. Ini adalah dua hape yang aku gunakan sebelum aku ganti ke hapeku sekarang, Realme 5i. Di samping hape Android, aku ada beberapa feature phone yang ingin aku bahas nanti.

Pemanfaatan Barang Lama

Berbicara mengenai penggunakan barang elektronik lama untuk tujuan tertentu memang bukan sebuah solusi untuk semua orang. Sama seperti di artikel sebelumnya mengenai laptop lawas yang hanya digunakan untuk aktivitas di browser saja, untuk hape sepertinya solusinya bakal semakin mengerucut dan cenderung semakin niche. Terlebih di artikel ini aku hanya berfokus pada menerima SMS dan telepon serta untuk pemutar musik luring layaknya iPod. Dan alasan aku juga membahas feature phone adalah kedua fungsi tadi masih bisa ditemui di situ juga. Well, untuk jenis yang memang memungkinkan juga sih.

Hal ini terbesit karena beberapa waktu lalu ibuku baru saja beli hape baru, dan hapenya yang sebelumnya tidak lagi dipakai. Hapenya adalah Nokia 105 4th edition rilisan tahun 2019. Seri ini merupakan seri yang hanya dapat melakukan SMS dan telepon saja tanpa adanya fungsi multimedia. Aku menggunakan hape ini untuk salah satu nomorku karena aku memiliki tiga nomor hape. Tetapi yang cukup disayangkan adalah hape ini memiliki speaker yang cukup kecil dan jadi satu di earpiece, bahkan untuk panggilan saja suaranya hampir tidak terasa. Di sinilah aku mencoba mencari kembali hape lamaku, serta milik bapakku, serta milik almarhum simbahku sebagai alternatif dari ini.

Bapak dulu punya Nokia 6233 dari tahun 2005 dan dipakai dalam jangka waktu cukup lama, dari aku TK hingga aku masuk SMP. Bisa dibilang masih awet juga walau ada beberapa masalah kecil yang nanti aku jelaskan. Bisa dibilang untuk kameranya memang sangat bagus di jamannya kalau mau dibandingkan hape-hape keluaran pabrik Tiongkok yang marak di tahun-tahun berikutnya. Kemudian adalah Nokia 2330c milik almarhum simbah, rilisan 2009 yang masih awet hingga sekarang, kecuali pengisi dayanya yang udah gak tahu kemana. Aku sempat pakai ini selama awal kuliah dalam beberapa bulan karena Evercoss U6-ku sudah memiliki gejala akan sekarat.

Dua pekan yang lalu aku memutuskan untuk membeli pengisi daya desktop untuk mengetahui apakah baterai dari masing-masing hape masih bisa diisi atau tidak. Aku mencoba keempat hape tadi untuk diisi baterainya dengan pengisi daya itu. Jujur, mengisi dayanya dengan pengisi daya ini sungguh lama karena output-nya cukup kecil. Yang baru muncul tanda kehidupannya adalah Nokia 6233, Nokia 2330c (karena aku sudah bilang kalau masih awet sampai sekarang tadi) dan Polytron S2350. Untuk Evercoss U6 juga masih bisa dinyalakan.

Hasil dan Pembahasan

Di samping judul yang mirip dengan isi laporan praktikum, sekarang waktunya kita membahas kondisi dari setiap hape. Dan di sini aku juga akan menilai bagaimana setiap hape tersebut bertingkah selama aku gunakan dalam sepekan terakhir. Siapa tahu nanti ada yang bisa aku pakai untuk memenuhi kedua fungsi yang aku sebutkan tadi, atau malah aku memang harus tetap menggunakan Nokia 105 saja.

Foto yang aku gunakan ini dari tahun 2019, omong-omong (sedang malas untuk mengambil fotonya lagi saat aku menulis ini, tetapi kondisinya masih 11-12). Untuk Nokia 2330c sendiri masih bisa digunakan walau hanya memiliki masalah di pengisi dayanya yang masih menggunakan barrel plug yang sudah tidak dapat mengisi lagi. Baterainya tidak ada masalah, dan jika perlu ganti pun masih bisa ditemukan seri BL-5C, yang merupakan seri yang sama pada Nokia 105. Tetapi karena aku membutuhkan fungsi pemutar musik juga, aku masih mengesampingkan ini untuk aku gunakan.

Lalu ada Nokia 6233 yang baterainya baru ganti sekali sama bapakku. Ini juga ada masalah di pengisi dayanya, sehingga satu-satunya cara mengisi dayanya hanya lewat pengisi desktop yang baru saja aku beli. Fungsinya memenuhi semua baik untuk SMS/telepon serta pemutar musik. Masalahnya adalah karena hape ini keluaran tahun 2005, port yang digunakan untuk earphone dan media adalah konektor pin proprietary dari Nokia. Karena USB belum cukup banyak dipakai kala itu, jelas. Dan mencari suku cadangnya di e-commerce seperti cukup menantang karena jarang ada yang masih menjualnya. Satu-satunya cara mungkin menggunakan TWS karena sudah ada Bluetooth di sini, tetapi aku sendiri gak punya TWS. Mungkin nanti beli. Satu lagi, kartu SD yang didukung di hape ini ternyata maksimal hanya 2 GB. Pantas dulu bapakku sering menggunakan format AAC di hape ini biar penyimpanannya lebih lega daripada pakai MP3. Dan baterainya yang baru ternyata juga tidak tahan begitu lama saat tidak digunakan sekalipun. Mungkin secara keseluruhan aku bisa menggunakan hape ini ke depannya jika baterainya masih oke sih, walau aku sendiri harus mengisi dayanya dengan pengisi desktop.

Kemudian soal Polytron S2350. Sebagai hape Android pertamaku, hape ini memang menyimpan cukup banyak kenangan. Tetapi di samping itu, ternyata hape ini sudah dapat bisa dikatakan sekarat. Aku bisa mengisi kembali daya baterainya menggunakan pengisi desktop dan pengisi daya dengan konektor micro USB. Tetapi yang menjadi masalah utama pada hape ini adalah port AUX-nya sudah soak dan tidak pas sehingga saat dicolokkan hanya keluar satu channel saja. Sebenarnya ini sudah rusak sejak lama dan aku pernah menggunakan aplikasi SoundAbout untuk menaggulanginya, tetapi tetap saja saat aku coba kembali, solusi ini tidak berhasil. Sehingga aku hanya memiliki opsi menggunakan TWS nantinya. Atau itu pikirku sebelum mengetahui bahwa baterainya juga menjadi masalah besar di sini karena selain sudah benar-benar soak (tidak bisa tahan lebih dari dua jam dengan jaringan menyala), suku cadangnya sama sekali tidak ada dan sampai saat ini aku tidak menemukannya. Dan masalah besar terakhir adalah ghost touch yang cukup ngeselin, kerap muncul saat hapenya sedikit mengembun layarnya. Membuat aku sendiri susah menggunakannya jika seandainya aku pakai sehari-hari.

Evercoss U6 ini rusak di bagian baterainya yang sudah soak walau udah ganti dua kali. Walau baterainya masih dapat dilepas, untuk mencari suku cadangnya juga cukup susah karena seri ini juga bukan seri yang banyak orang pakai sejak dirilis. Bahkan bisa dibilang seri yang paling murah di harga Rp 900 ribu saat dirilis tanpa bundling dari XL (sekarang hanya sekitar Rp 300 ribu dalam kondisi baru). Selain baterai, kalau tidak salah ingat layarnya juga pernah bermasalah sekali dan sudah diganti, dan kondisi terakhirnya juga sudah retak. Dan sepertinya juga mengalamai sedikit ghost touch jadi agak susah digunakan, walau tidak separah Polytron tadi. Dan ternyata speaker di hape ini udah busted dan gak keluar suara sama sekali. Kemudian port USB dan AUX di atasnya juga dalam kondisi “kalau mau pakai, masangnya harus pas di sudut tertentu”, yang membuat mobilitas hape ini juga berkurang. Untung saja pengisi daya dari Nokia 105 malah bisa pas dan tidak gampang lepas saat digunakan di sini. Lalu untuk earphone sendiri mungkin harus pakai TWS juga seperti dua hape yang sebelumnya aku sebutkan. Tapi sepertinya juga overkill sih. Lalu yang perlu aku catat juga adalah tombolnya di samping sudah tidak semantap dulu, volume rocker dan tombol powernya susah ditekan kecuali aku harus melepas casingnya, yang tentu akan mengurangi mobilitas karena baterainya akan gampang lepas. Internalnya hanya 8 GB dan masih bisa ditambahkan kartu SD, tetapi RAM-nya hanya 1 GB dan mungkin perlu pikir-pikir lagi untuk dipakai kembali seandainya masih baik-baik saja.

Kesimpulan

Dari beberapa hape yang aku uji di atas, mungkin kandidat paling kuat untuk soal mobilitas adalah Nokia 6233 dan untuk fitur yang masih lengkap adalah Evercoss U6, walau sepertinya bakalan susah jika akan aku gunakan ke depannya. Tetapi jika untuk komunikasi doang, mungkin aku akan stay di Nokia 105. Walau Nokia 2330c masih bisa digunakan, aku tidak bisa mengisi dayanya saat menyala karena aku sedang tidak memiliki pengisi dayanya. Lalu untuk Polytron S2350 sendiri, maaf, walau menyimpan begitu banyak nostalgia, aku tidak bisa menggunakannya sama sekali.

Yah, niat awal dari ide ini memang hanya untuk memanfaatkan yang ada untuk perangkat kedua dengan fungsi yang minimal saja, seandainya memang masih bisa jalan. Kalau gak bisa, ya udah gak masalah sih. Beberapa waktu yang lalu aku juga mendengar konsep dumb phone yang dibuat sedemikian rupa dengan meminimalisir fungsi hape untuk menghindari distraksi dan meningkatkan produktivitas. Mungkin konsep di atas bisa menurun dari konsep ini, tetapi lebih ke pemanfaatan hape lama aja.

Untuk sementara aku kembali lagi pakai Nokia 105 untuk nomorku ketiga, dan fungsi pemutar musik tetap di hape utama. Tetapi aku tetap kepikiran untuk mencari hape lagi untuk menerapkan konsep dumb phone, yang mungkin tetap menggunakan yang bekas, tetapi masih dalam kondisi yang baik tentunya. Nanti akan aku cari.